PG GMM Bulog Blora tutup giling lebih awal karena boiler rusak. Petani merugi, APTRI meradang, DPRD siap kawal ke pusat.
“Boiler rusak, giling berhenti, petani rugi. Itu bukan sekadar masalah teknis, tapi wajah telanjang dari manajemen yang gagal menjaga denyut nadi ekonomi rakyat kecil.”
PG Gendhis Multi Manis (GMM) Bulog di Tinapan, Todanan, kembali bikin geger. Baru masuk hari ke-110 masa giling, direksi mendadak menutup operasi dengan dalih boiler rusak. Padahal, target awal adalah 150 hari giling. Petani yang sudah siap panen jadi kelabakan, sementara kerugian pabrik disebut mencapai Rp 92 miliar hanya tahun ini. Total dua tahun terakhir? Rp 134 miliar.
Pertanyaannya sekarang, apakah sebuah pabrik gula modern yang dibangun dengan gegap gempita, investasi triliunan rupiah, bisa dibiarkan berhenti hanya karena satu mesin vitalnya rusak? Apa tidak ada contingency plan? Apa manajemen sedemikian gagap sampai nasib ribuan petani tebu harus jadi taruhan?
APTRI, Dari Harapan ke Kekecewaan
Puluhan pengurus APTRI Blora sampai harus mendatangi DPRD. Ketua mereka, Sunoto, meledak emosinya. Mereka sudah bosan, katanya, setiap tahun selalu ada masalah. Tahun lalu soal harga gula terlalu rendah, kini soal mesin rusak.
Petani jelas kecewa. Mereka bukan sekadar kehilangan waktu, tapi juga kehilangan kepastian. Tebu yang siap panen itu punya umur. Terlambat giling, kadar gulanya turun, ongkos naik, ujungnya petani buntung. Ironisnya, pabrik gula yang seharusnya menopang, justru jadi beban.
Direksi PG GMM, Klarifikasi atau Alibi?
Direktur Utama Sri Amelia mencoba menjelaskan. Katanya, boiler rusak, butuh waktu lama diperbaiki, mungkin sampai akhir musim giling. Maka solusinya, koordinasi dengan pabrik gula lain seperti PG Trangkil atau KTM.
Sekilas masuk akal. Tapi mari kita bongkar ya?
-
Boiler rusak di hari ke-110 – apakah tidak ada preventive maintenance? Apakah SOP pabrik sebesar itu hanya menunggu mesin jebol baru sadar?
-
Kerugian Rp 92 miliar – kok seperti jadi alasan untuk menyerah, bukan tantangan untuk berbenah?
-
Solusi oper tebu ke pabrik lain – ini justru bikin biaya petani naik, antrean tambah panjang, dan lagi-lagi rakyat kecil yang menanggung.
Direksi diminta mundur, wajar. Karena ini bukan sekadar teknis mesin, tapi akumulasi kegagalan manajerial.
DPRD Blora, Harapan dari Panggung Politik
Ketua DPRD Blora, Mustopa, tampil di garis depan. Mustopa berjanji siap mendampingi petani dan direksi PG GMM Bulog untuk mencari solusi ke Jakarta, menghadap Kementerian BUMN dan Kementerian Pertanian. Di ruang rapat paripurna, Mustopa menegaskan bahwa DPRD akan berdiri bersama petani tebu Blora.
Sikap ini tentu memberi secercah harapan. Minimal, ada dukungan politik lokal untuk memperjuangkan suara petani di tingkat pusat. Biarlah langkah ini kita catat sebagai itikad baik, sambil menunggu realisasinya di lapangan. Apakah sungguh berpihak pada petani, atau hanya jadi manuver sesaat, itu nanti akan diuji oleh waktu.
Krisis Industri Gula Blora, Ironi GMM
Mari kita tarik ke belakang. Pabrik Gula GMM didirikan dengan semangat industrialisasi modern, bahkan sempat digadang jadi model sugar refinery masa depan. Namun dalam praktik, sejak diambil alih Bulog, kinerjanya justru makin suram.
-
Produksi jauh dari target.
-
Mesin sering bermasalah.
-
Kerugian menumpuk.
-
Petani mitra justru makin tercekik.
Pertanyaan besarnya adalah, apakah GMM Bulog ini benar-benar pabrik gula untuk rakyat, atau sekadar proyek mercusuar yang gagal kelola?
Jalan ke Depan, Harus Ada Audit Total
Kasus ini tidak bisa lagi ditangani dengan tambal sulam. Kerusakan boiler hanyalah gejala. Yang harus dibedah adalah :
-
Transparansi manajemen dan keuangan GMM Bulog.
-
Audit teknis soal perawatan mesin dan operasional.
-
Kepastian skema kemitraan dengan petani, agar mereka tidak selalu jadi korban pertama.
-
Komitmen Bulog dan Kementerian BUMN, apakah masih serius membina industri gula, atau menyerah pada impor?
Jika tidak, lebih baik jujur, tutup saja pabrik ini, daripada tiap tahun hanya jadi drama dan kerugian.
Petani Tidak Bisa Terus Jadi Korban
Petani tebu Blora bukan angka di neraca rugi-laba. Mereka adalah manusia yang setiap musim bekerja keras di ladang, berharap jerih payahnya berbuah manis. Jika pabrik yang dijanjikan untuk menolong mereka justru gagal berulang-ulang, maka yang rusak bukan hanya boiler, tapi juga kepercayaan rakyat pada negara.
“Boiler bisa diganti, mesin bisa diperbaiki. Tapi kalau kepercayaan rakyat sudah habis, itu yang tak akan mudah pulih kembali.”