Amin Faried tekankan pengawasan super ketat K3 sumur tua Blora, dari mitigasi, litigasi hingga kompensasi korban.
Amin Faried Wahyudi, Direktur LSM Blora Critis Center (BCC) menyoroti lemahnya K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) dalam pengelolaan sumur minyak tua maupun sumur ilegal. Menurutnya, tanpa pengawasan super ketat, semua bicara soal rakyat hanyalah retorika belaka.
“Kalau bicara K3 itu jangan setengah-setengah. Harus ada antisipasi, mitigasi, bahkan prosedur litigasi maupun non-litigasi yang jelas. Kalau itu nggak ada, yang jadi korban tetap rakyat kecil,” tegas Amin di Stasiun Blora, Rabu (20/8/2025).
Beda Suara di Tengah Riuh Aktivis
Eksplorasi minyak di Blora belakangan makin gaduh. Exi Wijaya dari Rumah Juang melontarkan kritik pedas tentang kerakusan kapitalis berkedok “demi rakyat”. Rohmat Dwianto Gawiek menekankan aspek edukasi dan hati nurani dalam mengelola migas rakyat. Sementara Tejo Prabowo dari Jatibumi berani menguliti peran mafia dalam bisnis sumur tua.
Namun, Amin Faried memilih jalur lebih teknis. Baginya, perdebatan besar soal siapa yang menguasai sumber daya bisa panjang tak berujung. Tapi di lapangan, risiko yang paling nyata justru soal K3, ledakan, kebakaran, runtuhnya rumah warga, hilangnya mata pencaharian, bahkan kehilangan nyawa.
“Jangan tunggu rakyat jadi arang dulu baru bilang ‘kita evaluasi’. K3 itu mestinya jadi pintu masuk utama sebelum bicara untung-rugi minyak,” sambung Amin dengan nada serius.
Dari Mitigasi Hingga Litigasi
Menurut BCC, ada tiga lapis pengawasan K3 yang harus diperjelas, yaitu :
-
Antisipasi & Mitigasi
Setiap aktivitas eksploitasi minyak, baik resmi maupun tidak, wajib punya SOP darurat. Mulai dari jalur evakuasi, alat pemadam api, hingga penanganan limbah berbahaya. -
Litigasi
Jika terjadi kecelakaan, harus ada mekanisme hukum yang tegas. Siapa bertanggung jawab, siapa lalai, dan bagaimana ganti rugi diberikan ke korban. Jangan ada lagi kasus rakyat jadi korban tanpa ada keadilan hukum. -
Non-Litigasi
Penyelesaian di luar jalur hukum pun penting, terutama untuk mempercepat kompensasi korban. Misalnya lewat mediasi yang adil antara perusahaan, pemerintah, dan warga.
“Kalau tiga hal ini nggak jelas, ya itu sama saja bunuh diri massal. Jangan kira rakyat bisa terus diam,” tambah Amin.
Mengingat Luka Blora
Blora sendiri punya catatan panjang soal tragedi sumur minyak. Dari ledakan di Cepu, kebakaran di Gendono, sampai puluhan keluarga harus tidur beralaskan tikar di posko pengungsian. Ironisnya, setiap kali ada tragedi, pemerintah dan aparat selalu terkesan gagap! Baru bergerak setelah korban berjatuhan.
Padahal sejak era kolonial, Blora sudah dikenal sebagai ladang minyak. Di masa lalu, pemerintah Belanda saja sudah mewajibkan aturan keselamatan di lokasi pengeboran. Lalu mengapa di zaman modern, ketika teknologi sudah maju, rakyat Blora justru masih bermain dengan api tanpa perlindungan layak?
Jangan Lagi Jadi Formalitas
Suara Amin Faried ini seperti tamparan di tengah hiruk pikuk politik minyak Blora. Kalau bicara K3 masih dianggap formalitas—sekadar tanda tangan di atas kertas—maka deretan korban jiwa hanyalah menunggu waktu.
“Ini bukan soal jargon demi rakyat. Kalau K3 tidak diterapkan, justru rakyat yang akan terus jadi korban. Itu fakta pahit yang harus kita akui,” tutup Amin.