Ratusan warga dari empat dukuh di Desa Giyanti, Blora, gelar syukuran spontan di jalan cor Bakalan–Giyanti sebagai ungkapan syukur dan doa keselamatan
Syukuran Spontan di Jalan Baru, Tanda Syukur dan Kebersamaan
Tanpa undangan resmi, ratusan warga dari empat dukuh—Giyanti, Ringinanom, Trisinan, dan Cancangan—berbondong-bondong datang ke ruas jalan cor Bakalan–Giyanti, Rabu sore (8/10). Mereka datang bukan untuk seremonial pemerintah, tapi untuk menggelar syukuran dadakan yang penuh keikhlasan dan kebahagiaan.
Dari emak-emak jamaah tahlil, bapak-bapak, pemudas PSHT, anak-anak hingga para lansia, semua tampak membawa rantang, tenong, atau wadah seadanya berisi makanan rumahan. Tidak ada kursi VVIP, tidak ada tenda resmi—hanya tikar panjang di pinggir jalan rigid beton Ngroto-Giyanti yang kini menjadi kebanggaan bersama.
“Kami cuma ingin bersyukur. Jalan ini sudah lama kami nantikan. Semoga awet dan bermanfaat bagi semua warga,” ujar salah satu ibu jamaah dengan mata berbinar.
Doa Keselamatan agar Jalan Tak Jadi Sumber Petaka
Selain rasa syukur, warga juga berdoa agar jalan baru itu tidak menimbulkan kecelakaan. Mereka sadar, jalan halus sering kali membuat para pengguna—terutama remaja—terlalu lepas kendali.
“Sekarang jalannya bagus banget. Tapi kami berdoa, semoga semua yang lewat diberi kesadaran dan keselamatan. Jangan sampai karena halus lalu jadi ugal-ugalan,” tutur Karsandi tokoh agama setempat.
Ucapan Terima Kasih dan Rencana Mempercantik Jalan
Dalam suasana hangat tersebut, warga juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Blora, mulai dari Bupati dan Wakil Bupati, DPRD, Dinas Pekerjaan Umum, hingga Camat dan Kepala Desa. Mereka menganggap para pihak itu telah berjasa dalam mewujudkan peningkatan ruas jalan cor Ngroto–Giyanti, yang kini menjadi akses penting menuju Cepu kota.
Sebagai wujud rasa memiliki, beberapa ibu-ibu bahkan bersepakat untuk menanam bunga-bunga di sepanjang bahu jalan. Tanaman seperti bougenville, sakura lokal, dan bunga hias lain rencananya akan ditanam di lahan milik Perhutani dan tanah desa di sisi jalan tersebut.
“Kalau jalannya sudah bagus, ya lingkungannya juga harus cantik. Biar adem dipandang, biar kita semua ikut menjaga,” kata salah satu warga penuh semangat.
Kebahagiaan yang Tak Bisa Diundang
Syukuran sore itu berlangsung sederhana tapi penuh makna. Tak ada protokol, tak ada undangan cetak, namun suasananya jauh lebih hidup. Warga datang dengan kesadaran bersama menjaga anugerah yang sudah diberikan.
Dari tepian jalan rigid beton Ngroto–Giyanti, warga pelosok Kabupaten Blora kembali menunjukkan bahwa rasa syukur dan kebersamaan masih jadi napas kehidupan desa. Bahwa di tengah zaman serba cepat dan serba digital, syukuran sederhana di Jalan Kabupaten yang belum dibuka untuk umum masih mampu menghadirkan keindahan yang tak bisa dibanding-bandingkan—itu karena lahir dari ketulusan.
Jalan Baru, Harapan Lama yang Kembali Hidup
Di balik cor beton yang kini membentang mulus di sepanjang Jalan Giyanti, sebenarnya mengalir harapan lama yang baru saja bangkit kembali—tentang bagaimana desa akan tumbuh karena kemudahan akses transportasi, dan ternyata Negara telah hadir untuk itu.
Setiap serbuk semen rangka besi di jalan itu seperti menyimpan jejak doa dan harapan warga yang pernah bertahun-tahun berjalan di atas jalan berlubang, mengantar hasil panen, atau sekadar menjemput anak pulang sekolah. Kini, jalan yang dulu menggeronjal dan penuh genangan telah menjelma jadi fasilitas publik—dan pernah menjadi tempat orang bersyukur, berdoa, serta saling menguatkan.
Bagi warga Giyanti dan sekitarnya, jalan rigid beton ini tak sebatas dipandang sebagai hamparan infrastruktur, namun telah menjadi simbol kesadaran kolektif, bahwa sangat banyak ditemukan hati-hati yang bersyukur dan tangan-tangan yang tak lelah merawat, serta telah bersiap untuk menghiasinya dengan bunga-bunga.