Tragedi kebakaran sumur minyak ilegal di Blora membongkar wajah asli kerakusan kapitalis yang menyaru jadi pahlawan rakyat.
Kebakaran sumur minyak ilegal di Blora bukan sekadar musibah. Tragedi ini adalah potret nyata kerakusan yang dibiarkan merajalela, keselamatan manusia diabaikan, dan alam diperas tanpa henti.
"Alam memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan umat manusia, tetapi tidak akan cukup untuk memuaskan keserakahan manusia."
— Mahatma Gandhi
Blora, tanah yang kaya minyak, justru terbakar bukan oleh api semata, tapi oleh kerakusan. Sumur-sumur minyak dikeruk habis-habisan, pengelolaan asal-asalan, dan keselamatan buruh dianggap sepele. Hasilnya? Kebakaran! Nyawa melayang, rumah hancur, keluarga menangis.
Ini bukan kecelakaan biasa. Ini adalah kejahatan struktural. Semua pihak tahu standar keamanan diabaikan, tapi tetap tutup mata. Tidak ada mitigasi, tidak ada persiapan, tidak ada tanggung jawab. Mitigasi bukan soal panik setelah bencana, tapi soal mencegah risiko sejak awal.
Apa yang terjadi di Gadu, Bogorejo, Blora, membuktikan satu hal, yaitu :
-
Buruh dijadikan tumbal.
-
Rakyat sekitar jadi korban.
-
Sementara cukong pemodal cengar-cengir menghitung untung.
Blora dibakar bukan oleh api, tapi oleh kerakusan.
Sekilas Historis Migas Rakyat Blora
Sejak zaman kolonial Belanda, Blora sudah jadi ladang emas hitam. Di Cepu, minyak pertama kali ditambang secara komersial pada 1893. Warga sekitar diajak jadi buruh kasar, sementara hasilnya dikirim ke Batavia dan Eropa. Setelah merdeka, rakyat berharap migas bisa jadi berkah. Tapi apa yang terjadi? Eksploitasi terus berlanjut. Bedanya, kali ini bukan Belanda yang jadi tuan, melainkan cukong-cukong lokal yang berlindung di balik jargon “ekonomi kerakyatan”.
Muncullah istilah “migas rakyat”, seolah-olah benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Padahal, banyak di antaranya dikelola serampangan, tanpa standar keselamatan, dan hanya jadi lahan basah segelintir orang. Rakyat kecil tetap hanya dapat remah-remah, bahkan harus menanggung risiko paling besar! Luka, kehilangan rumah, hingga kehilangan nyawa.
Kapitalis Berkedok Pahlawan
Dan inilah ironi paling getir!
Para kapitalis yang menguasai sumur ilegal sering tampil bak pahlawan. Mereka sok-sokan menolong rakyat, mengaku membuka lapangan kerja, bahkan kadang ikut menyumbang acara desa. Tapi mari jujur, itu bukan ketulusan, itu strategi. Sandiwara murahan biar rakyat tidak melawan.
“Pahlawan” palsu ini tersenyum saat membagi sembako, padahal di belakang layar mereka mengorbankan nyawa buruh dengan standar kerja yang jauh dari layak. Mereka menepuk dada bilang membantu desa, padahal setiap liter minyak yang mereka angkut berarti satu langkah lebih dekat pada kerusakan tanah, air, dan udara Blora.
Kalau ada kecelakaan? Mereka cepat bilang, “Itu musibah, takdir Tuhan.”
Padahal kebenarannya, itu buah dari kerakusan mereka sendiri.
Seruan XCrot
“Cukup sudah! Keselamatan manusia lebih penting daripada perut para pemodal brengsek itu!” 🏴☠️
Blora harus sadar! Kapitalis bukan pahlawan, mereka hanyalah penjajah gaya baru. Mereka pakai topeng dermawan, tapi tangan mereka berlumuran darah buruh.
#Doa terbaik untuk para korban kebakaran sumur minyak di Gadu, Bogorejo, Blora. Semoga tragedi ini jadi peringatan keras, agar tidak ada lagi nyawa yang hilang karena kerakusan. 🤲