Tulisan tajam dari Exi Wijaya, Ketua Yayasan Rumah Juang Asri, membedah realitas kebijakan publik yang kerap jadi alat kekuasaan.
"Kebijakan itu politis. Dan di dalam politik, selalu ada kepentingan. Kepentingan siapa? Kepentingan kekuasaan tentunya. Yang mengambil keuntungan bukan rakyat, tapi mereka yang berada di lingkaran paling dalam kekuasaan."
Kebijakan Bukan Bayi Suci
Setiap kebijakan yang lahir dari rahim kekuasaan, tak pernah benar-benar netral. Ia bukan bayi suci yang lahir dari niat baik dan doa-doa rakyat jelata. Ia adalah anak kandung kompromi, kalkulasi, dan kepentingan yang disepakati di ruang-ruang tertutup penuh kepentingan.
Di balik setiap alokasi anggaran, proyek infrastruktur raksasa, hingga regulasi teknokratis yang terdengar keren dan ilmiah, tersembunyi agenda tersembunyi: bagaimana kekuasaan bisa tetap langgeng. Para penguasa tak cuma mengelola negara. Mereka juga mengelola peluang untuk mempertahankan kursi, memperluas pengaruh, dan mengunci pesaing.
Dan untuk mewujudkan itu semua, mereka butuh instrumen. Nama instrumen itu adalah: kebijakan.
"Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly, and applying the wrong remedies."
— Groucho Marx
Politik Itu Soal Siapa Dapat Apa
Politik bukan panggung kebenaran. Ia bukan tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Politik adalah soal siapa yang dapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Maka setiap kali kebijakan diumumkan, pertanyaan yang seharusnya diajukan bukan cuma "Apa tujuannya?", tapi lebih penting: "Siapa yang diuntungkan?"
Dan jawabannya, berulang-ulang, seperti gema di ruang kosong: mereka yang sedang berkuasa. Bukan petani yang membajak tanah retak dengan tangan kasar dan harapan yang nyaris habis. Bukan buruh pabrik yang lembur demi angka upah minimum yang tak cukup untuk hidup layak. Bukan nelayan dengan perahu bocor yang melawan gelombang demi sesuap nasi. Bukan rakyat miskin yang antre bantuan sosial di bawah baliho tokoh politik dengan senyum palsu menatap langit.
Bukan mereka. Dan belum pernah mereka.
"The duty of youth is to challenge corruption."
— Kurt Cobain
Dari Alat Keadilan Menjadi Senjata Dominasi
Secara ideal, kebijakan publik seharusnya menjadi alat pemerataan dan keadilan sosial. Tapi di tangan penguasa yang lebih mencintai elektabilitas dibanding rakyatnya, kebijakan berubah menjadi alat dominasi.
Bungkusnya cantik: pembangunan, transformasi, reformasi, kesejahteraan. Tapi isinya seringkali manipulatif: pencitraan, akal-akalan anggaran, dan strategi penguasaan. Subsidi hanyalah umpan untuk menjaga suara. Program bantuan hanyalah strategi elektoral untuk mendulang simpati menjelang pemilu. Proyek-proyek nasional hanyalah bancakan elite, pesta pora yang tidak pernah diundang oleh rakyat.
Negara yang Disandera
Rakyat makin lama makin dijauhkan dari proses kebijakan. Mereka hanya dijadikan latar. Angka statistik. Lampiran dari narasi besar yang digerakkan oleh elite. Nama mereka sering disebut dalam pidato, tapi nyaris tak pernah ada dalam proses perumusan kebijakan. Mereka tidak ada dalam rapat-rapat tertutup itu. Tidak ada dalam lingkaran kepentingan itu.
Dan ketika kita bertanya, “Kenapa negara tampak tak berpihak?” Jawabannya menyakitkan: karena negara telah disandera.
Disandera oleh partai-partai oportunis yang berubah warna sesuai musim. Disandera oleh kongsi bisnis dan penguasa yang bertransaksi di meja gelap. Disandera oleh dinasti politik yang memperlakukan jabatan seperti warisan keluarga. Disandera oleh oligarki yang membeli demokrasi dengan uang tunai.
Negara kini bukan rumah bersama, tapi perusahaan kekuasaan. Demokrasi hanyalah topeng. Di baliknya, bernafas sistem feodal lama yang disolek dengan jargon-jargon modernitas.
"The world will not be destroyed by those who do evil, but by those who watch them without doing anything."
— Albert Einstein
Jangan Naif, Waktunya Bertanya Keras
Jangan naif. Kebijakan bukan wahyu dari langit. Ia adalah produk manusia. Dan manusia yang berada di pusat kekuasaan, terlalu sering jatuh pada godaan dominasi, kontrol, dan pengaruh.
Maka setiap kali kebijakan diumumkan—sekecil apapun itu—kita wajib bertanya:
"Siapa yang dikorbankan kali ini?"
Karena selalu ada yang dikorbankan. Yang dikorbankan adalah mereka yang tak punya akses, tak punya kuasa, tak punya suara. Mereka yang berada jauh dari pusat, tapi selalu jadi sasaran dampak kebijakan yang tak pernah mereka undang.
Dari Objek Menjadi Penantang
Dan di situlah letak perjuangan kita. Rakyat tidak boleh hanya menjadi objek pasif. Tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita harus menjadi suara. Menjadi tekanan. Menjadi pihak yang terus-menerus bertanya, menggugat, dan menolak lupa.
Karena kekuasaan, tanpa kontrol dari rakyat, tanpa pengawasan dari publik, akan berubah menjadi tirani.
Dan ketika itu terjadi, tak ada jalan lain kecuali melawan. Menolak tunduk. Menjadi duri di leher penguasa yang lupa siapa tuannya sesungguhnya: rakyat.
🏴☠️🏴☠️🏴☠️
-Xcrot-
