Warga Blora berharap Presiden Prabowo tegas memberantas tambang ilegal yang merusak lingkungan dan mengancam masa depan daerah.
Presiden Ingatkan Jenderal TNI-Polri Tak Jadi Beking Tambang Ilegal
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengeluarkan peringatan keras kepada siapa pun, termasuk para jenderal TNI dan Polri, yang terlibat sebagai beking di balik praktik tambang ilegal. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Sidang Tahunan MPR, DPR, dan DPD RI Tahun 2025 di Jakarta.
"Saya beri peringatan, apakah ada orang-orang besar, orang-orang kuat, jenderal-jenderal dari manapun, apakah jenderal dari TNI atau jenderal dari polisi atau mantan jenderal, tidak ada alasan, kami akan bertindak atas nama rakyat," tegas Prabowo.
Presiden menyoroti kerugian negara yang sangat besar akibat aktivitas ilegal ini. Berdasarkan laporan resmi yang diterimanya, terdapat 1.063 tambang ilegal di Indonesia dengan potensi kerugian finansial minimal Rp300 triliun.
Kerugian tersebut bukan hanya menguras kas negara, tetapi juga menghancurkan lingkungan dan mengorbankan masyarakat di wilayah sekitar tambang.
Harapan dan Kekhawatiran Warga Blora
Bagi masyarakat Blora, ucapan Presiden Prabowo bagaikan harapan baru sekaligus ujian kesungguhan pemerintah. Blora dikenal sebagai daerah yang menyimpan kekayaan alam melimpah—dari minyak bumi hingga pasir dan batu—namun praktik tambang ilegal kerap merusak keseimbangan lingkungan dan memicu persoalan sosial.
Kerusakan hutan, pencemaran air, penurunan kualitas tanah, hingga konflik lahan menjadi pemandangan yang akrab di telinga warga. Kondisi ini sudah masuk kategori akut, sehingga memerlukan tindakan nyata dan konsisten dari pemerintah pusat hingga daerah.
Seorang tokoh masyarakat Cepu, yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan, "Kami sudah terlalu sering mendengar janji. Yang kami butuhkan sekarang adalah tindakan nyata. Jangan cuma gertak sambal."
Tabel Pahit Tambang Ilegal di Blora
Aspek | Fakta Lapangan | Dampak bagi Masyarakat & Lingkungan |
---|---|---|
Jenis Tambang Ilegal | Minyak bumi, pasir, batu, dan tanah urug | Merusak ekosistem, mengubah kontur tanah, dan menghilangkan resapan air |
Pelaku | Oknum pengusaha, jaringan lokal, dan dugaan backing aparat | Masyarakat kecil kalah saing, hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah |
Kerugian Ekonomi | Potensi kerugian ratusan miliar per tahun di Blora saja | APBD tak bertambah, warga tetap miskin, jurang ketimpangan melebar |
Kerusakan Lingkungan | Hutan gundul, sungai tercemar, dan lahan kritis meluas | Krisis air bersih, gagal panen, habitat satwa hilang |
Dampak Sosial | Konflik lahan, kriminalitas meningkat, dan hilangnya gotong royong | Rasa aman berkurang, kepercayaan ke pemerintah menurun |
Penegakan Hukum | Operasi penutupan sering formalitas, pelaku utama jarang tersentuh | Publik apatis, muncul anggapan “hukum bisa dibeli” |
Pemulihan Pasca-Tambang | Nyaris tidak ada program rehabilitasi serius | Lubang tambang dibiarkan menganga, jadi sumber penyakit & kecelakaan |
Tantangan Implementasi di Lapangan
Meski pernyataan tegas telah dilontarkan, warga Blora masih menunggu bukti nyata di lapangan. Tantangan utamanya ada pada:
-
Koordinasi lintas lembaga : Kementerian ESDM, Kepolisian, TNI, dan pemerintah daerah harus bergerak serempak.
-
Transparansi penindakan : Proses hukum harus terbuka agar publik percaya.
-
Pemulihan lingkungan : Penutupan tambang ilegal harus diikuti dengan rehabilitasi wilayah yang rusak.
Karena itu, bola panas kini berada di tangan aparat penegak hukum, khususnya para perwira menengah yang selama ini dipersenjatai negara bukan untuk menakut-nakuti rakyat atau awak media, melainkan untuk melindungi mereka. Jika justru menjadi pagar bagi pelaku tambang ilegal, maka sejatinya mereka telah mengkhianati sumpah dan amanah negara.
Penutup
Masyarakat Blora kini menanti, apakah kata-kata Presiden Prabowo di Sidang Tahunan MPR 2025 akan benar-benar menjadi perintah yang dijalankan, atau hanya menjadi pidato berapi-api yang hilang ditelan angin politik.
Harapan tetap menyala, tetapi rasa skeptis pun tak bisa dihilangkan. Karena, seperti pepatah Jawa, “Sepi ing pamrih, rame ing gawe” — yang dibutuhkan rakyat sekarang adalah kerja nyata, bukan sekadar bicara.