Demokrasi hanya akan lahir dari rakyat yang cerdas, berani, dan peduli. Pemerintah hanyalah bayangan.
_"Demokrasi hanya akan lahir dari rakyat yang cerdas, berani, dan peduli. Pemerintah hanyalah bayangan. Dan bayangan itu hanya akan lurus jika tubuh rakyatnya berdiri tegak"_
Dalam setiap perdebatan politik, ada pepatah yang terus berulang: _"setiap bangsa akan mendapat pemimpin sesuai dengan kualitas rakyatnya"._ Pepatah ini mungkin terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan makna reflektif tentang hubungan timbal balik antara rakyat dan pemerintah.
Pemerintah tidak hadir di ruang kosong. Ia terbentuk dari pilihan rakyat, dari kebiasaan sosial, dan dari kultur politik yang berakar di masyarakat. Jika hari ini kita melihat praktik korupsi merajalela, itu menunjukkan adanya budaya permisif terhadap korupsi di tingkat bawah entah karena rakyat memilih diam, merasa tidak berdaya, atau bahkan ikut menikmatinya. Bila pemerintah bersikap otoriter, bisa jadi karena masyarakat lebih memilih tunduk daripada mengkritik. Bila kebijakan negara kerap melenceng dari kepentingan publik, itu menandakan lemahnya partisipasi rakyat dalam mengawal demokrasi.
Pernyataan Abraham Lincoln masih relevan hingga kini: “Government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth.” Pemerintah adalah ciptaan rakyat, dibentuk oleh rakyat, dan seharusnya bekerja untuk rakyat. Namun, kenyataannya, ketika rakyat menggadaikan suaranya demi uang atau janji-janji instan, maka yang lahir adalah pemimpin yang siap menjual kepentingan bangsanya.
Soekarno pernah mengingatkan bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Pertanyaannya: apakah kita benar-benar menghargai perjuangan para pendiri bangsa, jika dalam praktik sehari-hari kita masih membiarkan praktik curang, pungutan liar, dan perilaku koruptif tumbuh subur? Mohammad Hatta pun menegaskan: “Demokrasi kita harus berdiri di atas kaki sendiri, dengan rakyat yang sadar akan tanggung jawabnya.” Demokrasi tidak hanya berarti memilih pemimpin setiap lima tahun sekali, tetapi juga menuntut kedewasaan rakyat untuk menjaga integritas dan tanggung jawab kolektif.
Pemerintah, pada dasarnya, adalah panggung besar. Rakyat adalah penonton sekaligus sutradara yang menentukan siapa aktor yang berhak tampil. Tetapi sering kali, rakyat tergoda oleh janji singkat, uang, dan pencitraan. Akibatnya, pemerintah lebih banyak bekerja untuk popularitas ketimbang menjalankan visi jangka panjang.
Namun relasi ini tidak searah. Pemerintah juga berperan membentuk rakyatnya. Ketika hukum ditegakkan secara adil, rakyat belajar disiplin. Sebaliknya, ketika hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah, rakyat pun belajar mencari celah dan menormalisasi ketidakadilan. Siklus inilah yang membuat wajah bangsa bisa tampak berwibawa, atau justru tampak rapuh.
Mahatma Gandhi berkata: “Be the change that you wish to see in the world.” Bila rakyat menginginkan pemerintah yang bersih, maka rakyat harus terlebih dahulu menata dirinya. Perubahan tidak bisa hanya digantungkan pada kursi kekuasaan. Ia harus dimulai dari ruang terkecil dari menolak suap dalam kehidupan sehari-hari, dari berani menegakkan kebenaran di lingkup kecil, hingga mendidik anak-anak dengan kejujuran.
Pada akhirnya, cermin tidak pernah berbohong. Pemerintah adalah wajah rakyatnya. Jika wajah bangsa ini terlihat kusam, itu karena kita membiarkannya. Jika wajah itu tampak bersih, itu karena kita turut membersihkannya. Perubahan sejati bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan, melainkan juga soal siapa yang berdiri di barisan masyarakat.
Demokrasi sejati hanya akan lahir dari rakyat yang cerdas, berani, dan peduli. Pemerintah hanyalah bayangan. Dan bayangan itu hanya akan lurus jika tubuh rakyatnya berdiri tegak.
🏴☠️🏴☠️🏴☠️
X-CROT