Tokoh adat Sedulur Sikep, Mbah Lasiyo, wafat di usia 66 tahun. Bupati Arief Rohman turut takziah dan mengenang petuahnya yang menyejukkan.
Daun tertunduk, angin seperti menahan napas, dan halaman Kampung Samin Karangpace mendadak hening. Kabupaten Blora tengah kehilangan sosok penting—Mbah Lasiyo, sesepuh Sedulur Sikep 'Samin' Karangpace—yang wafat pada Kamis malam (20/11/2025) di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada usia 66 tahun.
Dari pagi hingga siang, pelayat dari berbagai penjuru berdatangan ke Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo. Tidak cuma masyarakat adat, tapi juga pejabat, tokoh agama, tokoh budaya, bahkan institusi-insitusi besar yang mengirimkan karangan bunga sebagai penghormatan terakhir.
Bupati Blora Dr. H. Arief Rohman, M.Si. hadir langsung bersama jajaran Forkopimda untuk memberikan takziah dan doa. Dalam suasana sendu di Pendopo Sedulur Klopoduwur, Bupati menyampaikan rasa kehilangan yang mendalam.
“Kami menghaturkan bela sungkawa atas kapundutipun Mbah Lasiyo. Beliau sesepuh kita, tokoh panutan di Blora. Selama ini beliau mengajarkan tentang kehidupan. Ini sangat bermakna,” ujarnya.
Petuah yang Tetap Hidup
Bagi Bupati Arief, Mbah Lasiyo bukan sekadar tokoh adat. Beliau adalah guru kehidupan. Semasa hidup, Mbah Lasiyo dikenal sederhana, teduh, merangkul semua golongan, dan konsisten menjaga kearifan lokal Sedulur Sikep Samin.
“Sejak saya masih Wakil Bupati hingga dua periode jadi Bupati, beliau selalu mengajarkan tentang kebaikan, kejujuran, dan agar orang tidak dengki atau iri. Makna-makna itu ingin kita teladani,” tutur Arief.
Bupati menambahkan bahwa saat Mbah Lasiyo masih dirawat di RSUD Blora, komunikasi masih lancar. Namun kondisinya menurun ketika dirujuk ke Kariadi Semarang. Di masa-masa itu, almarhum masih sempat meminta doa.
Hubungan keduanya bukan hanya formal. Menjelang Suro kemarin, Bupati sempat berkunjung ke Karangpace memenuhi permintaan almarhum untuk “menanggapi wayang”—bentuk rutinitas budaya yang selalu dijaga Mbah Lasiyo.
“Ketika Suro, beliau selalu ingin ada pelestarian budaya. Nguri-uri kebudayaan,” jelasnya.
Duka yang Menjadi Kesaksian Cinta
Sejak Jumat pagi, Masjid Baitul Hadi Desa Klopoduwur dipenuhi pelayat. Usai disholatkan, jenazah dibawa menuju lokasi pemakaman di Situs Mbah Samin Suro Engkrek, tidak jauh dari rumahnya. Tempat itu memiliki simbol historis yang kuat bagi komunitas Samin—seakan Mbah Lasiyo pulang ke pusat keheningan yang beliau rawat seumur hidup.
Karangan bunga memenuhi halaman Pendopo Kampung Samin Karangpace. Dari Pemkab Blora, Forkopimda, BUMN, BUMD, hingga yang mencolok, kiriman dari Kabareskrim Polri Komjen Pol. Syahardiantono.
Semua tanda duka itu memperlihatkan satu hal, sosok Mbah Lasiyo telah melampaui batas komunitasnya. Beliau menjadi milik Blora, milik tradisi, milik nilai-nilai kejujuran yang mulai langka di zaman serba cepat ini.
Sedulur Sikep Samin dan Peran Mbah Lasiyo
Tradisi Samin di Blora bukan sekadar komunitas adat; ia adalah ingatan panjang tentang keberanian, kejujuran, dan perlawanan tanpa kekerasan. Sebagai sesepuh Karangpace, Mbah Lasiyo adalah salah satu penjaga terakhir nilai-nilai itu,
-
Anti serakah, anti tipu, menjunjung tinggi kejujuran.
-
Menghindari konflik, mengutamakan dengan srawung dan ngademke.
-
Pelestari budaya melalui ritual Suro, pagelaran wayang, dan pengajaran kepada generasi muda.
-
Jembatan hubungan antara komunitas adat dan pemerintah daerah.
Dengan kepergiannya, Blora kehilangan suara tenang yang selama ini menjaga akar tradisi tetap kuat.
Kepergian Mbah Lasiyo seolah jadi jeda alam. Daun tertunduk, angin berhenti sejenak, burung pun diam. Tapi petuahnya? Itu akan terus bergerak, dibawa oleh generasi yang pernah disentuh oleh kebijaksanaan sederhana beliau.


