Pekerja Migran Indonesia (PMI) terus memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia, terbukti dengan sumbangan devisa mereka y...
Pekerja Migran Indonesia (PMI) terus memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia, terbukti dengan sumbangan devisa mereka yang mencapai Rp139 triliun hanya pada tahun 2022 lalu. Meskipun demikian, tantangan dan risiko yang dihadapi oleh PMI masih menjadi sorotan, mulai dari kasus penipuan hingga keterlibatan dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO), bahkan hingga kasus pulang tanpa identitas yang jelas. Untuk mengatasi hal ini, Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menekankan pentingnya komitmen untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi para PMI.
Data terbaru dari Badan Pelindung Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat bahwa pada tahun 2023, terdapat total 273.848 PMI. Dari jumlah tersebut, sebanyak 11.967 pekerja ditempatkan melalui skema government to government (G to G), sedangkan 242.485 orang lainnya melalui skema private to private (P to P). Sementara 18.908 orang lainnya berangkat dengan skema perseorangan. "Pencatatan yang terperinci ini merupakan langkah penting dalam pemantauan terhadap warga negara kita, serta menjadi upaya untuk mengidentifikasi potensi PMI yang berstatus ilegal," ungkap Edy.
Edy menyoroti risiko yang dihadapi oleh PMI yang berangkat secara ilegal, yang rentan menjadi korban tindak kejahatan. Dia mendorong perlunya sosialisasi yang lebih luas mengenai jalur legal untuk bekerja di luar negeri, khususnya di daerah-daerah yang menjadi asal banyaknya PMI. "Melibatkan tokoh-tokoh lokal dan menggunakan organisasi seperti karang taruna atau PKK dapat menjadi cara efektif dalam menyampaikan sosialisasi ini," tambahnya.
Lebih lanjut, Edy juga menegaskan perlunya peningkatan kualitas SDM bagi para calon PMI agar memiliki keterampilan dasar yang sesuai dengan permintaan pasar kerja di luar negeri. Dia menekankan peran penting Balai Latihan Kerja (BLK) dalam meningkatkan kualifikasi dan kemampuan bahasa asing para calon PMI. "Keterbatasan bahasa asing, keahlian yang tidak sesuai dengan permintaan pasar kerja, serta kurangnya akses terhadap informasi lowongan pekerjaan di luar negeri menjadi tantangan utama yang perlu segera diselesaikan," jelasnya.
Edy mencontohkan BLK di Randublatung, Blora, yang memberikan pelajaran Bahasa Jepang dan menjadi sumber informasi lowongan kerja di luar negeri. Menurutnya, keberadaan BLK semacam ini dapat secara signifikan meningkatkan kualitas SDM masyarakat setempat. "Perluasan jangkauan BLK ke daerah-daerah yang menjadi basis PMI dapat menjadi solusi untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka sebelum berangkat," ujarnya.
Sementara itu, Edy juga menyoroti potensi kerja sama yang ada dengan Jepang, salah satu negara tujuan PMI yang menjanjikan. Dengan kerjasama G to G, Jepang menawarkan kuota per tahun untuk perawat sebanyak 30 orang dan careworker 300 orang. "Ini baru sebagian dari sektor pekerjaan yang tersedia di Jepang, yang secara keseluruhan membutuhkan sekitar 70.000 orang dengan keahlian spesifik setiap tahunnya," paparnya.
Pada akhirnya, Edy menekankan perlunya komitmen yang kuat dari semua pihak, mulai dari Kepala Negara hingga Kepala Daerah, dalam memberikan perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan bagi PMI. Dia menganggap pentingnya penghormatan dari negara-negara lain terhadap PMI Indonesia, dan menyatakan bahwa hal ini harus menjadi misi bagi calon presiden di masa depan untuk memprioritaskan hal ini dalam kepemimpinannya."